Kamis, 21 Juli 2011

Psikologi Agama: Orientasi Sikap, dan Perilaku Keagamaan

A.      Pendahuluan
Agama merupakan hal yang paling dekat dengan kita dan kehidupan kita dalam berbagai bentuknya. Ritual, semangat, organisasi, dan kelembagaan agama yang lain sangat mudah dapat kita temukan. Termasuk kelembagaan agama adalah para pemuka dan tetua agama yang masih memegang peranan sangat penting dalam kehidupan beragama itu sendiri. Manusia teelah memiliki fitrah untuk beragama dan fitrah tersebut telah melekat dalam diri setiap individu semenjak ia dalam kandungan. Itu sebabnya akan terlalu sulit atau bahkan tidak mungkin bagi manusia untuk tidak beragama meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
Dalam beragama seseorang dapat saja memiliki orientasi, sikap, dan perilaku yang berbeda-beda bahkan terhadap agama itu sendiri. Sebaliknya, agama juga dapat mempengaruhi kehidupan seseorang baik secara orientasi, sikap, maupun perilakunya. Dengan demikian, ada hubungan yang tak terpisahkan bagai dua sisi sebuah mata uang antara manusia dan agama.
Pendidikan merupakan basis utama dan strategis dalam kehidupan manusia. Dengan pendidikan manusia memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut ia mendapatkan pencerahan sehingga mampu mengelola dunia dengan baik sebagai khalifah. Karena itulah dalam Islam pendidikan sangat ditekankan dan diutamakan.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan, tetapi lebih kepada penanaman nilai-nilai, norma-norma, dan budaya. Dengan demikian, melalui pendidikan diharapkan keluhuran nilai-nilai dan norma-norma dapat terjaga dan dilestarikan. Tetapi di sisi lain ada juga perubahan yang diharapkan melalui pendidikan, yaitu perubahan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup dalam arti yang seluas-luasnya. Begitu penting dan urgennya pendidikan, maka tak mengherankan jika dunia pendidikan mengemban tugas besar. Tidak hanya itu, dapat dikatakan bahwa nasib suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikannya. Dan kerena itu Islam memiliki konsep istimewa dalam pendidikan agar tercipta generasi-generasi yang istimewa.     
B.       Pengertian
1.      Orientasi
Dalam Peter Salim dan Yenny Salim (1991: 1064) orientasi diartikan sebagai “dasar pemikiran untuk menentukan sikap, arah, dan sebagainya secara tepat dan benar”. Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 803) orientasi ada dua arti, yaitu “peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb.) yang tepat dan benar, sedangkan arti yang kedua adalah “pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan”. Dengan demikian, kaitannya dengan tulisan ini maka pengertian yang ke dua lebih sesuai.
Dari pengertian di atas, maka orientasi keagamaan dapat diartikan sebagai dasar pemikiran, pandangan, perhatian, atau kecenderungan untuk menentukan sikap secara tepat dan benar yang berkenaan dengan agama. Orientasi keagamaan seseorang biasanya dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman keagamaan di masa lalu ataupun ketika usia anak-anak. Pengenalan awal tentang agama oleh lingkungan –terutama keluarga- sangat pentin artinya bagi pembentukan orientasi (Jalaluddin, 2001: 204). 
2.      Sikap
“Pendapat atau pendirian” adalah pengertian sikap dalam eter Salim & Yenny Salim (1991: 1422). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan”. Menurut Mar’at (dalam Jalaluddin, 2010: 259) secara umum “sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek-obyek tertentu berdasarkan penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu”. Masih dalam buku yang sama, menurut Jalaluddin, Mar’at merangkum 11 rumusan tentang sikap dari 13 pengertian yang telah dikemukakan oleh Allport. 11 rumusan tersebut ialah sebagai berikut:
a.       Sikap adalah hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang kontinyu dengan lingkungan
b.      Sikap selalu dikaitkan dengan obyek ataupun ide
c.       Sikap merupakan pembelajaran dalam interaksi sosial
d.      Sikap sebagai kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara-cara teretntu
e.       Sikap adalah perasaaan yang afektif yang merupakan bagian paling dominan. Biasanya tampak pada penentuan pilihan antara baik, buruk, atau ragu-ragu
f.       Sikap memiliki tingkat intensitas tertentu terhadap suatu obyek
g.      Kesesuaian sikap memiliki relatifitas terhadap ruang dan waktu
h.      Sikap bersifat relatif konsisten terhadap suatu rentang faktor dalam kehidupan individu
i.        Sikap adalah kompleksitas dari konteks persepsi atau kognisi individu
j.        Sikap adalah penilaian terhadap sesuatu yang mungkin memiliki konsekuensi tertentu terhadap individu
k.      Sikap adalah penafsiran dari tingkah laku yang menjadi indikator sempurna maupun yang tidak memadai
Dalam bukunya juga, Jalaluddin menyimpulkan pengertian tentang sikap yang dikemukakan oleh Mar’at dengan kalimat sebagai berikut, “dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap obyek”. Mar’at juga menulis (dalam Jalaluddin, 2010: 261) sebagai berikut:
Dengan demikian, menurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behavior), sedangkan, reaksi afektif bersifat tertutup (cover).

Jalaluddin juga menulis bahwa faktor penentu mata rantai hubungan antara sikap dan perilaku adalah motif yang mendasari sikap.     
3.      Perilaku
Sebelum masuk pada pengertian secara psikologi, maka pengertian secara umum atau secara kamus adalah sebagai berikut:
a.       “Tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan” (Peter Salim & Yenny Salim, 1991: 859)
b.      “Kegiatan individu atas sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan” (Depdiknas, 2001: 1139)
Perilaku atau tingkah laku menurut Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama (2010: 217) adalah sebagai berikut:
Perilaku ditentukan keseluruhan pengalaman yang disadari oleh pribadi. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku. Artinya, bahwa apa yang dipikir dan dirasakan individu itu menentukan apa yang akan dikerjakan.

Jika seseorang berperilaku maka dapat dipastikan bahwa perilakunya tersebut merupakan respon sadar terhadap lingkungannnya. Dapat juga dikatakan bahwa perilakunya tersebut merupakan cerminan dari yang dipikirkan, dipahami, dan dirasakan oleh seseorang. Atau, perilaku seseorang tersebut merupakan bentuk nyata dari kepribadiannya. Kepribadian adalah “keseluruhan kualitas kejiwaan baik yang diwarisi dari orang tua dan leluhur, maupun yang diperoleh dari pengalaman hidup” (Erich Fromm dalam Bastaman, 2005: 103). 
4.      Pendidikan Islam
Menurut H. M. Arifin (1996: 10), “pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”. Atau dengan kata lain, pendidikan Islam adalah “suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah” (1996: 11). Sementara itu menurut Naqib Alatas (dalam Jusuf amir Feisal, 1995: 94) menyebutkan bahwa “mendidik adalah membentuk manusia untuk menempati tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku proporsional sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasainya”.
Hery Noer Aly menuliskan pengertian tujuan pendidikan dalam bukunya, yaitu bahwa “tujuan pendidikan adalah orientasi yang dipilih pendidikan dalam membimbing peserta didiknya” (1999: 54). Menurutnya, jika seseorang telah memilih suatu nilai dan norma dalam mendidik maka sesungguhnya ia telah mengutamakan nilai dan norma tersebut atas nilai dan norma yang lain. Dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan adalah kristalisasi nilai-nilai. Pendidikan dalam Islam diarahkan untuk “adanya realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia keseluruhannya untuk mencapai keutamaan dan kesempurnaan hidup” (H. M. Arifin, 1996: 41). Arah pendidikan tersebut dapat direalisasikan dengan cara “mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat” (H. M. Arifin, 1996: 16).    
C.      Pembahasan
Secara umum sebenarnya ada keterkaitan erat antara orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan. Orientasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, dapat juga berlaku bahwa sikap dan perilaku seseorang berpengaruh terhadap sikap, perilaku, dan orientasi orang lain.
Dalam hubungannya dengan keagamaan, agama dapat mempengaruhi orientasi, atau orientasi dapat mempengaruhi keagamaannya. Untuk orientasi mempengaruhi keagamaan biasanya adalah karena nilai-nilai pandangan hidup yang dianut atau orientasi seseorang atau sekelompok orang terhadap kehidupan secara umum. Namun pengertian tersebut tidak ada atau tidak berkesinambungan dengan agama yang dianutnya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku keagamaan seseorang atau suatu kelompok. Ketika orientasi keagamaannya positif maka sikap dan perilaku keagamaannya positif. Begitu juga sebaliknya, jika negatif, maka sikap dan perilaku keagamaannya negatif.
Fenomena perubahan keagamaan dapat disebut sebagai penyimpangan. Penyimpangan tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif diantaranya adalah konversi agama. Konversi agama tersebut secara mudah dapat diartikan sebagai perubahan keagamaan ke arah yang lebih baik dan berarti yang berlawanan dari yang semula (Zakiah Daradjat: 1996: 137). Sedangkan menurut Jalaluddin, untuk yang negatif diantaranya adalah munculnya sikap-sikap intoleren (kurang atau bahkan tidak toleren), fanatisme, fundamentalisme, maupun sikap menentang agama. Sikap intoleren dan fanatisme biasanya dilakukan terhadap yang berbeda, terutama yang di luar dari yang bersikap tersebut (2010: 273).
Diantara bentuk paling ekstrim dari sikap intoleren dan fanatisme di atas adalah terorisme (dalam berbagai bentuknya) dan kekerasan terhadap kelompok lain. Selain bentuk penyimpangan negatif tersebut ada juga yang bersikap ke arah pendangkalan agama. Yaitu seperti agama hanya sebagai pelengkap, agama sebagai pembenaran atas gerakan atau pemikiran seseorang atau suatu kelompok, bahkan sampai ada yang acuh tak acuh terhadap agama.
Orientasi, sikap, dan perilaku keagamaan seseorang atau sebuah kelompok tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah tingkat intelektualitas –yang mencakup tingkat pemahaman- dan pengaruh lingkungan sosial. Fenomena penyimpangan tersebut di atas pada umumnya berhubungan dengan kedua faktor tersebut, biasanya secara bersama-sama. Jika kita mengatakan pemahaman keagamaan yang menjadi faktornya, maka pemahaman tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya. Begitu juga lingkungan dan budaya dapat berubah seiring dengan tingkat intelektualitas para individunya dalam memahami segala sesuatu ataupaun kehidupan.
Pendidikan agama Islam memiliki peranan sangat penting, karena dari pendidikan agamalah Allah memperkenalkan diri kepada manusia den dengan demikian manusia mengenal Allah. menurut Zakiah Daradjat “pendidikan agama pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian sesuai dengan ajaran agama”. Ia juga menambahkan bahwa pembinaan akhlak, mental, dan sikap jauh lebih penting daripada hanya sekedar mengajarkan untuk menghafal materi dan dalil tanpa diresapi dan dihayati dengan baik maknanya (1996: 107). Untuk itulah dalam konsep Islam, pendidikan dilakukan semenjak dini, bahkan sebelum seseorang menikah dan memiliki keluarga baru. Dalam hal pendidikan ini peran keluarga sangat penting dan strategis.
Ciri manusia sempurna menurut Islam adalah manusia yang sehat dan kuat jasmaninya –termasuk dalam berketrampilan, cerdas, dan pandai akalnya, dan hatinya dipenuhi iman kepada Allah (Ahmad Tafsir, 2000: 46). Dalam filsafat, secara umum manusia dikatakan sebagai hewan yang berakal atau berpikir. Berpikir berarti memiliki orientasi dalam melakukan segala sesuatu. Semua yang dilakukan oleh manusia memiliki tujuan dan motivasi tertentu. Hal tersebut berarti ada sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang yang dapat berupa pandangan hidup secara umum ataupun berdasarkan keagamaannya.
Keagamaan seseorang dapat mempengaruhi orientasi, sikap, dan perilakunya. Kerena orientasi merupakan dasar seorang individu dalam bersikap dan berperilaku. Agama sebagai sesuatu yang sifatnya fitrah (tertanam dan melekat dalam setiap individu) sudah tentu akan sangat mempengaruhi pandangan seseorang, bahkan terhadap hidup dan kehidupan. Oleh karena begitu strategisnya posisi agama dalam kehidupan manusia, maka pendidikan yang menjadi tumpuan pengenalan berbagai nilai, norma, serta budaya, juga memiliki peranan yang sangat urgen dan penting.
Dari pengertian pendidikan yang telah dikemukakan tersebut di atas, bahwa pendidikan juga merupakan sarana pembentukan watak dan akhlak manusia. Watak di sini juga termasuk apa yang disebut sebagai orientasi, sedangkan sikap dan perilaku termasuk dalam akhlak. Dengan demikian, pendidikan agama merupakan satu hal yang sifatnya telah menjadi keharusan bahkan kebutuhan manusia itu sendiri. Adanya keterkaitan antara pendidikan agama dengan pembentukan orientasi, maka pendidikan agama yang dilakukan secara benar, tepat, dan baik sesuai dengan tuntunan agama akan membentuk pribadi individu yang dikatakan dalam dalam agama sebagai individu yang sempurna. Kesempurnaan tersebut meliputi akal, jasmani, dan juga rohani secara bersama-sama dan menyeluruh. Itulah yang dicita-citakan oleh adanya syari’at.            
D.      Kesimpulan
1.      Orientasi merupakan dasar untuk bersikap dan berperilaku. Orientasi seseorang atau sekelompok orang secara umum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat intelektualitas dan budaya lingkungan. Kedua faktor tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain secara bersama-sama.
2.      Pendidikan agama merupakan sarana yang sangat strategis untuk mengenalkan segala nilai dan norma yang terkandung dalam ajaran agama. Dalam pendidikan ada proses penanaman nilai-nilai dan norma-norma disamping transfer ilmu dan pengetahuan. Itulah yang dimaksud pendidikan dalam Islam.
3.      Pendidikan agama juga merupakan sarana tepat pembentukan watak dan akhlak seseorang. Watak atau orientasi tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap akhlak atau sikap dan perilaku seseorang, termasuk dalam keagamaan. Pendidikan agama yang dilakukan secara benar, tepat, dan baik akan berdampak positif bagi pembentukan orientasi sehingga memunculkan sikap dan perilaku yang positif pula bagi individu dalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun sosial.
E.       Daftar Pustaka
Depdiknas, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Djamaludin Ancok & Fuad Nashori Suroso, 1994, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

H. M. Arifin, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara

Hanna Djumhana Bastaman, 2005, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar

Hery Noer Aly, 1999, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos

H. Jalaluddin, 2001, Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
------------ 2010, Psikologi Agama, Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Jusuf Amir Feisal, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Peter Salim & Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press

Zakiah Daradjat, 1996, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang

Antropologi Al-Qur'an (Manusia sebagai Hamba dan Khalifah)

A.      Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang misterius sekaligus kompleks. Ia memiliki berbagai dimensi. Ada jiwa dan raga, sisi ruhani dan sisi jasmani, segi sosial dan individual, sebagai hamba dan sebagai penerima tanggungjawab. Kesemuanya itu adalah yang terdapat dalam diri manusia.
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk mengetahui tentang manusia. Mulai dari teori evolusi Darwin hingga penciptaan, mulai dari biologi sampai psikologi terpopuler. Seluruhnya mencoba menjelaskan tentang manusia dan hakikatnya.
Berbagai teori mulai dari yang klasik hingga yang paling modern belum dapat secara tuntas membahas tentang manusia. Bilamana pendekatan yang digunakan berbeda, maka hasilnya juga terlihat berbeda. Hal itu menyebabkan seolah-olah teori-teori tersebut saling bertentangan meski yang diperbincangkan adalah satu pokok bahasan, yaitu manusia.
Namun sebagai umat beragama, yang menjadi pijakan hendaknya adalah pengertian yang diberikan oleh agama. Dan Islam telah memiliki penjelasannya sendiri tentang manusia dan kompleksitasnya. Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah tentang manusia dalam dimensi sebagai hamba dan sekaligus penerima dan pemikul tanggungjawab sebagai khalifah.   
B.       Pembahasan
1.      Manusia sebagai Hamba
Q.S Adz-Dzariyat (51) ayat 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd atau ‘ābid yang secara umum dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan diri. Dengan kata lain, hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan diri terhadap sesuatu. Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri yang dilakukan disebut sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut dilakukan kepada Allah SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat mutlak, namun semua ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan manusia.
Apabila kita perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah semuanya berada dalam batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya semacam rukhshah atau keringanan dalam melaksanakannya jika terdapat keadaan atau situasi yang tidak pada sewajarnya. Misalnya, wudlu dapat digantikan dengan tayammum apabila sama sekali tidak menemukan air, atau ada air namun teramat sangat terbatas. Atau jika tidak dapat melaksanakan shalat dengan berdiri, maka boleh dengan duduk, jika tak mampu duduk maka dengan berbaring, jika berbaringpun masih sulit maka dengan isyarat. Hal itu dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir dari penetapannya melainkan sebagai tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan yang maksimal untuk melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah tidak menafikan adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat dianugerahi oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya, kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti juga terdapat dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6 (Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai berikut:
..... žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Manusia selain diciptakan dengan bekal seperti akal dan  pemahaman serta naluri untuk taat seperti malaikat, yang membedakannya dengan malaikat adalah adanya kebebasannya untuk memilih yang hal tersebut sama sekali tidak ada pada malaikat. Hal ini terdapat dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11 yang sangat populer sebagai dalil tentang kebebasan manusia memilih jalannya, sebagai berikut:
..... žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 .....
“.....sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga kecenderungan pada keburukan dalam diri manusia seperti terdapat dalam Q. S Asy-Syams, 91: 8 sebagai berikut:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ  
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Kedua ayat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan buruk dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh pemilihan jalan yang dilakukannya. Jika ia menuruti kecenderungan baik maka konsekuensi logisnya adalah kebaikan yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia mengikuti bisikan keburukan, maka ia akan memperoleh keburukan. Meski demikian, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut dapat diartikan sebagai kecenderungan manusia pada kebaikan dan menyukai segala hal yang baik.
  Adanya kebebasan manusia untuk memilih jalannya membuat ia memiliki nilai lebih terutama dalam ketaatannya kepada Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang ketaatannya adalah mutlak karena Allah telah menciptakan malaikat dengan disain taat dan patuh sepenuhnya tanpa ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah memang mereka dicipatakan hanya untuk taat semata, bukan karena mereka bisa memilih untuk taat atau tidak seperti halnya manusia.
Dalam ushul fiqh terdapat kaidah umum bahwa dalam hal kebaikan ketika berniat maka Allah mencatat sebagai satu pahala dan jika ia melaksanakan niat baiknya maka dicatat sebagai dua pahala. Namun berbeda dengan keburukan. Dalam keburukan, nilai keburukan akan dicatat sebagai keburukan jika benar-benar telah dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja maka ia tidak dicatat sebagai keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar dilakukan maka hanya dicatat sebagai satu keburukan. Adanya kaidah tersebut dapat dimaknai sebagai motivasi yang besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan baru dapat dinialai sebagai keburukan manakala ia benar-benar telah dilakukan (ada unsur kesengajaan dan kesadaran penuh).
Dalam Q. S Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah. Meski begitu, relasi yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para hamba-Nya bukanlah seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang saling membutuhkan satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk dan perintah untuk beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan untuk kepentingan Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat atau tidaknya hamba, tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua itu. Bahkan bukti ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang di langit maupun di bumi beserta isinya.
2.      Manusia sebagai Khalifah
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 30
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôdJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai yang datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi siapa saja yang kekuasaan mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas (Sya’roni, Badruddin, Tang, 2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari Q. S Al-Baqarah adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian pengertian tentang khalifah maka dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah siapa saja yang diberi wewenang untuk mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang tersebut.
Sebagai khalifah manusia telah diberi bekal kemampuan yang sangat penting dan berguna bagi tugasnya tersebut. Ketika manusia dapat menggunakan segala bekal kemampuan tersebut maka tugasnya dapat dilaksanakan dengan optimal. Bekal tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang semua nama, karakteristik, dan fungsi benda-benda (Shihab, 2000: 143). Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q. S As-Sajdah, 32: 9 sebagai berikut:
¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B šcrãà6ô±n@ ÇÒÈ            
“Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Pendengaran, penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai dengan perintah Allah terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas memakmurkan bumi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya dapat melahirkan kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya diselaraskan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab menulis bahwa kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas ke-khalifah-an (2000: 140). Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan Al-Qur’an, 1996: 282).
Dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Quraish Shihab berpendapat bahwa setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama ketika aktivitas tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut (2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab) mengemukakan beberapa hal untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1.      Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya pemerkosaan
2.      Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya
3.      Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4.      Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5.      Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi obyek penentuan orang lain

Selain sebagai khalifah, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai hamba-Nya. Hubungan keduanya sangat erat bahkan saling mempengaruhi. Jika manusia sebagai hamba benar-benar melaksanakan kehambaannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka ketika ia menjadi pemimpin ia akan pula berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Begitu pula ketika ia menjadi khalifah seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah hamba dari yang Maha Kuasa yang memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41 sebagai berikut:
tûïÏ%©!$# bÎ) öNßg»¨Y©3¨B Îû ÇÚöF{$# (#qãB$s%r& no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# (#rãtBr&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ (#öqygtRur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# 3 ¬!ur èpt6É)»tã ÍqãBW{$# ÇÍÊÈ     
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Hubungan antara manusia sebagai hamba dan khalifah melahirkan posisi saling terkait. Sebagai khalifah ia memiliki hak prerogatif dan wewenang dalam kerputusannya untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan sebagai hamba, hak dan wewenang tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang telah diberikan Allah. jadi, ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus ingat bahwa tujuan penciptaannya adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an menyebutkan bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat malaikat dan bukan pula hakikat iblis” (1999: 19). Ini menyiratkan bahwa manusia –seperti telah disinggung dalam manusia sebagai hamba- memiliki potensi untuk menjadi baik dan taat seperti malaikat namun ia juga memiliki dorongan untuk membangkang seperti iblis. Jika hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai khalifah, ketika ia dalam menjadi pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan maka ia akan lebih jahat daripada iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan keburukan dan lebih mengutamakan kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat.    
“Seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan budayanya terpelihara” (Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama, memberikan petunjuk dan arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong dalam hal kebajikan; yang ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang keempat, menetapi kebenaran dan keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik terhadap nikmat maupun cobaan dalam ia sebagai hamba meupun dalam kepemimpinannya (2004: 165). Dalam kepemimpinan ada dua hal yang harus ada, yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Adanya kedua hal pokok tersebut mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan kehidupannya.        
C.      Kesimpulan
1.      Manusia diciptakan Allah adalah semata-mata untuk menyembah dan mengabdi hanya kepada-Nya.
2.      Penyembahan tersebut bersifat mutlak dan maksimal sesuai dengan kemampuan manusia
3.      Relasi yang dibangun Allah dengan manusia adalah pemilik dengan hamba-Nya. Bukan seperti tuan dengan budak yang saling membutukan satu sama lain
4.      Ibadah yang diperintahkan oleh Allah adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan manusia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan Allah
5.      Manusia sebagai ­khalifah merupakan wakil Allah untuk melaksanakan segala ketentuan Allah sesuai petunjuk-Nya
6.      Ke-khalifah-an tersebut juga terkait dengan perannya sebagai hamba untuk melaksanakan tugas kehambaannya
D.      Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 1992, Tafsir Al-Maraghi I (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra

----------, 1992, Tafsir Al-Maraghi 27 (Terjemah), Semarang: CV. Toha Putra

Aisyah bint Syati, 1999, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus

Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian I, Jakarta

----------, 1995, Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian III, Jakarta

M. Sya’roni, Badruddin, M. Tang, 2000, Studi Al-Qur’an (Epistemologi Tafsir dan Pandangan Al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press

M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

----------, 2004, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Bandung: Mizan

----------, 2000, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an), Ciputat: Lentera Hati