Kamis, 21 Juli 2011

Hakikat Pengetahuan

A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan tentang sesuatu sangat besar atinya untuk mencapai sesuatu. Dengan pengetahuan tersebut manusia dapat “menguasai dunia” sehingga terciptalah segala sesuatu yang ada di sekitar kita seperti sekarang ini yang dapat dikatakan serba canggih. Teknologi untuk menciptakan segala sesuatu yang serba canggih tersebut karena manusia “memiliki pengetahuan” tentang itu.
Filsafat sebagai mater of science memiliki pembahasan tentang pengetahuan, demikian juga para filsuf. Masa mereka hidup dan aliran yang mereka anut turut mempengaruhi pendapat mereka tentang segala sesuatu, termasuk pengetahuan. Dengan demikian dapat kita lihat beragamnya pengertian tentang pengetahuan maupun hakikat pengetahuan yang terkadang terlihat saling bertentangan, namun di sisi lain dapat dirujukkan dan kemudian saling melengkapi.
Dalam makalah ini akan disinggung berbagai pendapat tentang hakikat pengetahuan beserta para tokoh dan alirannya. Selain itu juga pengertian umum tentang pengetahuan. Dengan demikian, diharapkan akan dapat membantu kita dalam memahami pengetahuan.
B.     Pengertian
Secara umum, hakikat diartikan sebagai sesuatu yang inti, yang sebanarnya, yang sejati, yang tak dapat berubah pengertiannya tentang sesuatu. Hakikat berasal dari bahasa Arab haqîqah (jamaknya haqâiq) –dengan kata dasar haq, yaitu nyata, pasti, tetap- yang diterjemahkan sebagai kebenaran, kenyataan, keaslian (Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, 1997: 283). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hakikat adalah dasar, intisari, kenyataan yang sebenarnya (Peter S. dan Yenny S., 1991: 500).
Sementara pengetahuan, orang sering menyebutkan secara bersama-sama antara ilmu dan pengetahuan sebagai satu istilah. Ada yang berpendapat bahwa keduanya memiliki kaitan proses. Namun, ada juga yang memisahkan dan membedakan pengertian antara keduanya. Mohammad Adib (2010: 49) menyebutkan beberapa diantaranya yaitu, seorang filsuf John F. Kemeny. Ia menggunakan ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah. Bagi Charles Singer ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sedangkan Harold H. Titus mengatakan bahwa banyak orang telah mempergunakan ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang obyektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat, Burhanuddin Salam menuliskan bahwa pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu (2005: 5). Drs. Sidi Gazalba (dalam Burhanuddin, 2005: 5) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. “ Pengetahuan adalah peristiwa yang menyebabkan kesadaran manusia memasuki terang ada” (Kenneth G. Gallagher, 1994: 25). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengetahuan juga dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal” (Depdiknas, 2001: 1121). Sementara ilmu diartikan sebagai “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu” (Depdiknas, 2001: 423)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan bagian dari ilmu. Jika kita ibaratkan keduanya sebagai sapu lidi, maka pengetahuan adalah lidi-lidinya, sedangkan ilmu merupakan sapu lidi tersebut. Sapu lidi adalah kumpulan dari banyak lidi yang ditata dan disusun sedemikian rupa sehingga ia memiliki nama tertentu, cara penggunaan tertentu, dan juga kegunaan tertentu.
C.    Hakekat Pengetahuan
Jika sebelumnya telah disebutkan pengertian secara umum tentang hakikat pengetahuan seperti yang telah ada di atas, maka filsafat juga memiliki definisi sendiri mengenai hal tersebut. Namun, sebelum membahas tentang hakikat pengetahuan, maka terlebih dahulu akan disinggung tentang asal-usul pengetahuan. Hal ini dikarenakan antara asal-usul pengetahuan dengan hakikat pengetahuan ada kaitannya. Persoalan tentang asal-usul pengetahuan juga memunculkan berbagai aliran dalam filsafat. Dalam buku Filsafat Ilmu yang disusun oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM (1996: 24) dijelaskan berbagai aliran tersebut, yaitu :
1.    Rasionalisme
Aliran ini berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal. Akal memperoleh bahan melalui indera untuk kemudian diolah menjadi pengetahuan. Rasionalisme mandasarkan pada metode deduktif untuk memperoleh pengetahuan. Yaitu cara memperoleh kepastian melalui berbagai langkah metodis yang bertolak dari hal-hal yang sifatnya umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Adapun seorang filsuf bernama Rene Descartes membedakan tiga idea yang ada dalam diri manusia. Yaitu innate ideas, yang merupakan ide bawaan yang dibawa manusia sejak lahir; adventitious ideas, untuk menyebut ide-ide yang berasal dari luar manusia; dan  factitious ideas adalah berbagai ide yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Diantara tokoh aliran ini adalah Spinoza dan Leibniz. 
2.    Empirisme
Pendapat aliran ini adalah bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata untuk kemudian berbagai kesan tersebut berkumpul menjadi pengalaman dalam diri manusia. Pengetahuan yang berupa pengalaman terdiri dari penyusunan dan pengaturan berbagai kesan yang bermacam-macam. Para penganut aliran ini adalah Posivisme Perancis, Posivisme Logis dari Lingkaran Wina, Analisa Filsafati Inggris, dan berbagai aliran Psikologi Behavioristik.
3.    Realisme
Pernyataannya adalah bahwa obyek-obyek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Berbagai obyek tersebut adanya tidak tergantung pada yang mengetahui dan yang mencerap, atau dapat dikatakan bahwa adanya tidak bergantung pada pikiran. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut tidak mempengaruhi sifat dasar dunia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menyadarinya dan akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadarinya.
4.    Kritisisme
Tokohnya yang sangat terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant. Ia berusaha menjawab persoalan tentang pengetahuan yang bertentangan antara aliran rasionalisme dan empirisme dengan mempertemukan keduanya. Hal itu dikarenakan pada masing-masing dari dua aliran tersebut timpang sebelah.
Titik tolak Kant adalah waktu dan ruang sebagai dua bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (dari indera sebagai empiri ekstern dan dari pengalaman sebagai empiri intern). Bahan-bahan yang merupakan empiri tersebut masih kacau. Kemudian akal mengatur dan menertibkan dalam bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Bahan-bahan empiri tersebut ditempatkan yang satu sesudah yang lain. Pengamatan merupakan permulaaan pengetahuan, sedangkan pegolahan oleh akal merupakan pembentuknya.

Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa persoalan tentang hakikat pengetahuan juga memunculkan aliran-aliran dalam filsafat sebagai berikut:
a.       Aliran Idealisme
Aliran idealisme merupakan keberlanjutan dari aliran rasionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan merupakan proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang bersifat subyektif. Pengetahuan adalah gambaran subyektif tentang kenyataan. Pengetahuan tidak menggambarkan dengan tepat tentang sesuatu yang berada di luar pikiran.  
b.      Aliran Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman. Di antara para tokohnya adalah David Hume, ia termasuk dalam empirisme radikal yang menyatakan bahwa idea-idea dapat dikembalikan kepada sensasi-sensasi (rangsang indera) dan pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Dan William James menyatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan antara benda-benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera. 
c.       Aliran Positivisme
Jika idealisme adalah keberlanjutan dari aliran rasionalisme, maka positivisme merupakan “tangan panjang” dari aliran realisme. Aliran positivisme memiliki pendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan yang bersifat fakta. Apa pun yang berada di luar pengalaman empiris tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian hanya pada dunia ini.
Sikap negatif positivisme terhadap kenyataan yang di luar pengalaman telah mempengaruhi berbagai bentuk pemikiran modern: pragmatisme, instrumentalisme, naturalisme ilmiah dan behaviorisme. Penganut analis filsafati dewasa ini pada umumnya adalah penganut empirisme.

Beberapa tokohnya menyatakan bahwa pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Jika suatu pernyataan tidak berdasarkan pengalaman empiris dan tidak pula dapat diverifikasi atau tidak dapat dibuktikan secara empiris maka dianggap tidak bermakna atau bukan merupakan pengetahuan.
d.      Aliran Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan hakekat pengaetahuan, ia hanya mempertanyakan kegunaan suatu pengetahuan. Suatu pengetahuan itu ada nilainya ketika ia berguna. Termasuk tokoh dalam aliran ini adalah C.S. Pierce, William James, dan John Dewey.
Menurut C. S. Pierce bahwa yang penting adalah pengaruh suatu ide atau pengetahuan terhadap suatu rencana. Pengetahuan merupakan gambaran yang diperoleh tentang akibat yang dapat disaksikan. Nilai dari suatu pengetahuan bergantung pada penerapannya yang nyata dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia dapat dikatakan benar bukan karena pengetahuan tersebut mencerminkan kenyataan, tetapi karena dapat dibuktikan kemanfaatannya bagi umum.
Ukuran kebenaran tentang suatu hal ditentukan oleh akibat praktisnya. Suatu pengertian tidak pernah benar tetapi pengertian hanya dapat menjadi benar. Kebenaran hendaknya diukur dan dicari dari seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas. Ini semua merupakan pendapat dari William James.
Bagi John Dewey kegunanaan dan kemanfaatan suatu pengetahuan hendaknya yang menjadi ukuran, sedangkan daya untuk mengetahui dan berfikir merupakan sarana. Menurutnya, tak perlu mempermasalahkan kebenaran suatu pengetahuan, tetapi sejauhmana pengetahuan tersebut dapat memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bukan pengetahuan itu sendiri yang benar, namun pengetahuan tersebut menjadi benar dalam rangka proses penerapannya. Dengan demikian pengetahuan itu sifatnya dinamis karena harus sesuai dengan berbagai peristiwa yang silih berganti dan yang mencerminkan hakikat alam semesta.
Hal yang senada tentang asal-usul dan hakikat pengetahuan juga dipaparkan dalam sebuah artikel (www.kppn-tanjungredeb.net: 28-34), yaitu:
a.)    Tentang Asal-usul Pengetahuan
1.    Aliran Rasionalisme
Paham ini mengajarkan bahwa asal-usul pengetahuan adala rasio. Mereka yang berada dalam aliran ini tidak menafikan peran indera, tetapi menurut mereka peran indera sangatlah kecil dalam memperoleh pengetahuan. Pengetahuan manusia sebenarnya telah ada terlebih dahulu dalam rasio yang berupa kategori-kategori. Pengalaman, menurut mereka adalah pelengkap bagi akal.
Menurut Plato, pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan rasio karena menyangkut dunia idea yang sifatnya tetap. Ajarannya ini terkait dengan dua dunia yang diajarkannya, yaitu dunia idea dan dunia materi. Baginya, dunia materi adalah pencerminan dari dunia idea. “Segala sesuatu yang termasuk dalam “dunia material” terbuat dari materi yang yang dapat terkikis oleh waktu, namun segala sesuatu dibuat sesuai dengan “cetakan” atau “bentuk” yang tak kenal waktu, yang kekal dan abadi” (Jostein Gaarder, 2010: 145).
Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah kursi maka kursi yang terlihat oleh mata kita itu bukanlah hakikat dari kursi itu sendiri. Tetapi kursi yang terlihat itu adalah pencerminan dari konsep kursi yang telah ada dalam dunia idea dalam akal budi kita. Karena meskipun kursi tersebut sangat beragam dan berbeda bentuk serta materi pembuatnya atau telah tiada dari hadapan kita, kita tetap akan tahu bahwa itu adalah kursi yang biasanya digunakan untuk duduk.
Rene Descartes melalui pepatahnya yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) memberikan peran yang sangat menentukan bagi akal dalam proses lahirnya pengetahuan. Baginya, segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal budi dapat digunakan sebagai dasar yang tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya secara empirik. Meski begitu, ia tetap melakukan berbagai percobaan dan pengamatan, yang selanjutnya ia berkesimpulan bahwa deduksi rasionalistik saja belum cukup untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna tentang kenyataan.
2.    Aliran Empirisme
Berkebalikan dari aliran rasionalisme, empirisme sangat mengagungkan peran pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa akal hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima apa yang diterima oleh indera. Pengalaman merupakan akibat dari rangsangan obyek terhadap indera yang kemudian menimbulkan rangsangan pada syaraf yang diteruskan ke otak. Kemudian dalam otak dibentuk persepsi-persepsi tentang obyek tersebut.   
3.    Fenomenalisme Kant
Kant berpendapat bahwa dalam proses pengetahuan, akal dan indera sama-sama berperan penting. Pengetahuan hanya dapat terjadi dengan adanya kerjasama antara pengalaman indera dan rasio. Tidak mungkin yang satu bekerja sendiri tanpa yang lain untuk mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu.
4.    Intuisionalisme
Menurut intuisionisme, pengetahuan yang lengkap hanya dapat diperoleh dengan pengalaman penglihatan secara langsung oleh yang mengalami. Pengetahuan intuitif tidak melalui simbol sebagai perantara pengkomunikasiannya. Jadi, sifat dari pengetahuan dalam paham ini sangat subyektif karena menjadikan pengalaman tertentu oleh orang yang bersangkutan sebagai pengetahuan. Maka paham ini lebih subyektif dibanding aliran rasionalis dan empiris.
5.    Metode Ilmiah
Unsur utama dalam metode ilmiah adalah penggunaan akal, pengalaman, dan hipotesa. Hipotesa atau penalaran digunakan untuk penyelesaian yang berupa saran yang sifatnya sementara dan masih probabilitas yang harus diverifikasi lebih lanjut. Sementara itu, pengalaman dipakai untuk merumuskan masalah. Sedangkan eksperimentasi adalah untuk mengkaji hipotesis.
b.)    Tentang Hakikat Pengetahuan
1.      Idealisme
Bagi Descartes dan para pengikutnya dalam aliran ini, rasio atau pikiran merupakan satu-satunya sumber dan jaminan pengetahuan (J. Sudarminta, 2002: 52). Jadi, dengan kata lain pengetahuan tentang sesuatu telah ada dalam dunia ide yaitu rasio atau akal budi. Dan itulah pengetahuan yang sebenarnya atau hakiki.
2.      Empirisme
Hakikat pengetahuan bagi aliran empirisme adalah pengalaman. Apa yang dialami itulah pengetahuan. Pengalaman inderawi sangat menentukan bagi terbentuknya pengetahuan.
3.      Positivisme
Para penganut paham ini menolak adanya kenyataan yang berada di luar pengalaman. Semua pengetahuan harus dapat dibuktikan secara empirik. Oleh karena itu, dogma-dogma harus dihapus dan digantikan dengan pengetahuan yang bersifat fakta.
4.      Pragmatisme
Bagi aliran ini hakikat pengetahuan ada pada manfaat praktisnya bagi kehidupan. Suatu pengetahuan dapat dikatakan benar manakala ia dapat dipergunakan bagi penyelesaian persoalan kehidupan manusia. Pengetahuan tidak dapat dikatakan benar jika ia hanya benar berdasarkan pada kenyataan obektif (empirik) ataupun subyektif. Secara singkat dapat dikatakan bahwa aliran ini menafikan kedua aliran lainnya, yaitu idealisme atau rasionalisme dan empirisme atau positivisme.
Dalam filsafat Islam, ilmu dan hakikat pengetahuan memiliki pengertian tersendiri. Pada umumnya para filsuf muslim hampir mirip dengan (atau jika tidak dikatakan mengikuti) Fenomenalisme Kant. Mereka tidak mendewakan akal ataupun inderawi, tetapi mengakui potensi dan eksistensi keduanya untuk mengetahui hakekat tentang segala sesuatu termasuk pengetahuan.
Para filsuf muslim masa skolastik mulai dari Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd atau yang lebih dikenal dengan Averoes memiliki pandangan bahwa pengetahuan pada hakekatnya datang dari Allah. Adapun semua potensi yang ada pada manusia baik akal, indera, hati, maupun jiwa sama-sama penting dan berperan serta secara bersama-sama untuk menemukan hakekat tentang segala sesuatu. Pengetahuan yang diperoleh oleh akal, indera, hati, dan jiwa kebenarannya bersifat subyektif dan sementara, oleh karenanya harus disesuaikan dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah untuk membimbing manusia menuju hakekat dan menemukan kebenaran. Karena keduanya berasal dari Allah maka kebenaran dan pengetahuan yang tercakup di dalam keduanya merupakan pengetahuan dan kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Untuk itulah pengetahuan yang diperoleh oleh potensi manusia tersebut harus disesuaikan dengan petunjuk wahyu yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang filsuf muslim yang bahkan terkenal paling rasionalis sekalipun seperti Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jika terdapat pertentangan antara akal dan wahyu, maka akal harus tunduk kepada petunjuk wahyu. Hal itu dikarenakan oleh kemampuan akal –termasuk juga indera, hati, dan jiwa- manusia yang sangat terbatas untuk mengetahui hakekat tentang segala sesuatu. Meskipun ia juga mengakui bahwa untuk memahami wahyu selain keimanan diperlukan juga akal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara potensial manusia mampu menemukan kebenaran, meskipun hakekat yang diperolehnya sangat terbatas pada kemampuan potensinya tersebut. Selain itu pada kenyataannya tingkat kemampuan potensi setiap individu manusia berbeda-beda, maka pengetahuan dan kebenaran yang diperolehnya pun akan berbeda-beda. Oleh karena itulah diperlukan petunjuk dari Yang Maha Mengetahui dan Maha Benar, yaitu Allah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
D.    Kesimpulan
1.    Hakekat pengetahuan secara umum dapat diartikan sebagai kebenaran, kenyataan, dan keaslian tentang segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal
2.    Ada 4 aliran besar dalam merumuskan tentang asal-usul pengetahuan, yaitu idealisme, realisme, empirisme, dan kritisisme. Setiap dari mereka memiliki pendapat masing-masing.
3.    Idealisme berpegang pada akal budi atau rasio, realisme pada pengalaman inderawi, empirisme pada kenyataan yang ada, sedangkan kritisisme merujukkan antara idealisme dan empirisme.
4.    Hakikat pengetahuan memunculkan 4 paham besar, yaitu idealisme, empirisme, positivisme, pragmatisme.
5.    Konsep yang telah ada pada dunia ide merupakan titik berat aliran idealisme, konsentrasi aliran empirisme adalah pengalaman inderawi, positivisme pada kenyataan dan fakta-fakta, sedangkan bagi pragmatisme adalah kegunaan dan kemanfaatan dari sesuatu.
6.    Secara umum para filsuf muslim lebih mirip (atau jika tidak dikatakan mengikuti) Fenomenalisme Kant yang mengakui potensi akal dan indera dalam menemukan hakekat segala sesuatu, termasuk pengetahuan.
7.    Mulai dari Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kebenaran hakiki dan hakekat tentang segala sesuatu yang mengetahui adalah Allah. manusia hanya mampu mengungkap kebenaran sebatas kemampuan potensi yang dimiliki oleh akal, indera, hati dan jiwa.
8.    Jika terdapat pertentangan antara pengetahuan dan kebenaran yang diperoleh manusia melaui potensinya dengan petunjuk wahyu, atau keduanya terlihat bertentangan maka potensi lah yang harus tunduk kepada kebenaran wahyu.  
E.     Daftar Pustaka
Burhanuddin Salam, 2005, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara

Jostein Gaarder, 2010, Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat, Bandung: PT. Mizan Pustaka

J. Sudarminta, 2002, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius

Kenneth T. Gallagher, 1994, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, P. Hardono Hadi (Ed), Yogyakarta: Kanisius

Miska M. Amien, 1983, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: UI Press

Mohammad Adib, 2010, Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta

www.kppn-tanjungredeb.net/dl/ebooks/filsafat_ilmu/bab3-asal_usul_dan_hakikat_pengetahuan.pdf

1 komentar: