Kamis, 21 Juli 2011

Kritik Sanad dan Matan Hadits

A.      Pendahuluan
Hadits merupakan sumber ajaran agama Islam selain al-Qur’an. Sebagai sumber, maka ia haruslah dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Dengan demikian, hadits dapat berjalan beriringan dengan al-Qur’an. Secara umum, hadits merupakan sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi, baik secara ucapan, tindakan, maupun penetapan (taqriry).
Kritik merupakan hal yang sangat umum terjadi terhadap sesuatu untuk mengetahui bahkan membuktikan keabsahan dan kebenarannya. Begitu pula dengan hadits yang juga mengalami kritik. Dalam hal hadits, kritik tersebut ditujukan untuk meninjau ulang apakah suatu berita yang dikatakan berasal dari Nabi itu memang benar demikian ataukah tidak. Ini terkait dengan Nabi sebagai utusan dan contoh nyata pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari bagi para sahabat beliau ketika itu sampai ummatnya sepanjang zaman.  
Kritik hadits dalam hal sanad dan matan ini bukan berarti meragukan keabsahan berita yang berasal dari Nabi tetapi lebih kepada peninjauan ulang tentang kesahihan berita yang diterima dengan mengatasnamakan Nabi. Hal ini untuk menjaga agar sumber ajaran agama Islam tetap asli seperti pada masa awal kedatangannya bersama Rasulullah. Dengan demikian, tujuan Islam sebagai rahmatan li ‘alamin dapat tetap terwujud.
B.       Sejarah
Kritik sanad maupun matan hadits telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW namun dengan cara yang jauh lebih sederhana. Hal ini karena sumber yang akan diklarifikasi, yaitu Nabi Rasulullah SAW tentang suatu berita kala itu masih hidup. Yang melakukan kritik adalah para sahabat, terutama para sahabat yang dikategorikan sebagai sahabat besar.
Pada masa awalnya, kritik ini dilakukan terhadap matan. Umumnya adalah untuk mengetahui maksud sebenarnya dari berita yang diperoleh yang dikatakan berasal dari Nabi. Karena, bisa jadi orang yang meriwayatkan suatu berita dari Nabi memang mendengar dan bertemu langsung dengan beliau tetapi dengan pemahaman yang berbeda dari maksud sang sumber. Atau sang periwayat bukanlah orang pertama, dia juga mendengar dari orang lain dan orang yang menyampaikan tersebut meriwayatkan dengan riwayat bil ma’na.
Kritik sanad ketika itu belum dilakukan dengan ketat seperti sekarang. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu para sahabat dikenal sangat menjaga kejujuran dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam bukunya, Ali Mustafa Yaqub (Kritik Hadis, 2000: 3-4) menyatakan bahwa terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik sanad hadits.
Kritik sanad hadits berkembang sangat pesat pada masa pecahnya perang saudara di dunia politik antara kubu pendukung ‘Aliy bin Abi Thalib dengan kelompok pendukung Muawiyah bin Abu Sofyan dalam hal jabatan kekhalifahan. Banyak dari kedua kubu yang menjadikan hadits sebagai legitimasi bagi kelompok masing-masing. Jika tidak ada, maka mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu untuk mendukung kelompok mereka.
C.      Pengertian
1.      Kritik Sanad Hadits
Sanad secara bahasa berarti sandaran. Sedangkan secara istilah adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits (http://www.scribd.com/Kritik-Hadist/d/27800507). Jadi, kritik sanad hadits secara umum dapat dikatakan sebagai  upaya yang dilakukan terutama oleh para ulama’ hadits – yang selanjutnya disebut sebagai Almuhaditsin- untuk meneliti kesahihan sanad atau jalur periwayatan hadits. Dalam Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Syuhudi Ismail, 1995: 85-86) dinyatakan bahwa setidaknya ada empat faktor penting yang mendorong para ulama mengadakan penelitian sanad hadits, yaitu:
a.              Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b.              Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
c.              Munculnya pemalsuan hadits
d.             Proses penghimpunan (tadwin) hadits.
Sedangkan dalam http://www.canboyz.co.cc/2010/03/sanad-dan-matan-hadits.html ditambahkan dengan beberapa poin, yaitu beragamnya metode penyusunan kitab-kitab hadits dan adanya periwayatan hadits secara makna. Untuk periwayatan hadits secara makna dikhawatirkan ada keterputusan maksud dari yang awal diterima.
            Kritik sanad hadits dapat juga disebut sebagai kritik eksteren atau takhrij hadits. Dalam kritik sanad, yang menjadi perhatian utama para muhaditsin adalah masalah perawi. Mereka sepakat bahwa hadits yang shahih lidzatihi dapat diketahui dari penelitian kualitas sanadnya yang terdiri dari para periwayat. Khusus untuk kualitas pribadi para periwayat yang dijadikan standar adalah masalah ke-‘adil-an dan ka-dlabith-an para rawi.
Ke-‘adil-an dan ke-dlabith-an para perawi merupakan hal yang menjadi perhatian khusus dalam penelitian sanad hadits. ‘Adil yang dimaksud dalam ilmu hadits berbeda dengan konsep ‘adil dalam studi fiqh maupun secara umum. ‘Adil di sini oleh Syuhudi Ismail (1995: 134) adalah beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah. Atau dengan kata lain, ‘adil yang dimaksudkan dalam ilmu hadits adalah kualitas pribadi seseorang yang menjadi periwayat. Sedangkan muru’ah di sini dapat diartikan sebagai menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengurangi kehormatan dan kualitas pribadi.
Dlabith oleh kalangan para muhaditsin memiliki beberapa pengertian dan kriteria. Namun secara umum dapat dipahami sebagai orang yang sangat kuat hafalannya, memahami dengan baik isi kandungan riwayat yang sampai padanya, sekaligus mampu menyampaikan dengan baik riwayat tersebut kepada orang lain. untuk poin yang disebutkan terakhir ada beberapa penekanan, diantaranya adalah terjaga hafalannya jika ia menerima atau pun menyampaikan riwayat secara lisan dan terjaga catatannya jika ia menerima atau menyampaikan riwayat secara tertulis.
2.      Kritik Matan Hadits
Matan secara bahasa adalah tanah yang tinggi atau bisa juga disebut inti hadits. Sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad (http://www.yousaytoo.com/kajian-kritik-sanad-dan-matan-hadits/464168). Kritik matan hadits adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui kebenaran matan/isi hadits.
Jika dibandingkan dengan kritik sanad, maka kritik matan belum banyak dilakukan oleh para muhaditsin. Hal ini dapat diketahui dari belum banyaknya kitab-kitab khusus yang membahas tentang kritik matan. Namun bukan berarti kritik matan itu kurang atau tidak penting. Umumnya, para muhaditsin menilai bahwa kritik matan dapat dilakukan setelah melakukan kritik sanad. Ini karena belum tentu suatu hadits yang sanadnya sahih maka otomatis matannya juga sahih, begitu pula sebaliknya.
Dalam mengkaji sebuah matan hadits, hal pertama yang harus dilakukan adalah meneliti sanadnya. Kemudian, jika sanadnya telah diketahui kualitasnya dan sahih, maka perlu ditinjau kembali tentang kesahihan matan. Tetapi jika sanadnya telah diketahui tidak sahih sedangkan matannya terlihat sahih, maka dapat ditempuh dengan membandingkan dengan hadits yang temanya sama. Hal ini akan dibahas selanjutnya dalam materi-materi kritik.
D.      Materi – materi Kritik
1.      Kritik Sanad Hadits
Dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Syuhudi Ismail (dalam Rasyid Rizani, PA Banjarmasin: 2009) menuliskan bahwa ada beberapa langkah dalam melakukan kegiatan kritik sanad, yaitu:
-          Melakukan I’tibar
I’tibar secara singkat dapat diartkan sebagai peninjauan kembali terhadap sesuatu yang sejenis. Dengan demikian, i’tibar di sini adalah untuk mengetahui ada atau tidak adanya muttabi’ dan syahid dalam suatu hadits. Muttabi’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang tapi tidak terletak pada tingkatan sahabat sedangkan syahid terletak di tingkatan sahabat.
Untuk mempermudah i’tibar dapat dilakukan pembuatan skema sanad. Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a.       Jalur seluruh sanad
b.      Nama semua periwayat untuk seluruh sanad
c.       Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
-          Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
Dalam melakukan penelitian terhadap pribadi periwayat, para muhaditsin terbiasa mengkaji sejarah hidup setiap periwayat untuk mengetahui ke-‘adil-an dan ke-dlabith-annya. Selain itu juga untuk meneliti ada atau tidak adanya ketersambungan hubungan kesezamanan dan/ atau hubungan guru-murid dalam periwayatan suatu hadits. Sedangkan untuk metode periwayatannya dapat dilihat dari penggunaan lafadz atau lambang tertentu oleh setiap periwayat untuk menghubungkannya dengan periwayat yang terdekat dalam meriwayatkan suatu hadits.
Dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Syuhudi Ismail (1992: 74) menyebutkan bahwa lambang-lambang yang biasanya dipakai dalam periwayatan hadits, yaitu عنا, عن, حدسنا, حدسنى, سمعنا, سمعت, dsb. Semua lambang tersebut disepakati oleh jumhur ulama dengan kategori tingkat keakurasian yang tinggi. Kecuali lambang عنا, عن karena kedua lambang tersebut biasanya menunjukkan adanya keterputusan sanad. Meskipun demikian hadits yang terdapat lafal عنا, عن pada sanadnya masih dapat diterima atau dinilai bersambung sanadnya oleh ulama jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Pada sanad hadits tersebut tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis)
b.      Para periwayat yang namanya beriringan dan diantarai oleh salah satu dari kedua lambang tersebut telah terjadi pertemuan diantara mereka
c.       Periwayat yang menggunakan salah satu dari kedua lambang tersebut adalah periwayat kepercayaan (tsiqah)
-          Jarh wa ta’dil untuk mengetahui nilai pribadi periwayat
Secara umum, jarh adalah pengungkapan keadaan yang menyebabkan lemahnya atau gugurnya suatu riwayat yang disampaikan seorang rawi. Sementara ta’dil adalah adalah pengungkapan yang sebaliknya. Yaitu suatu keadaan yang menyebabkan kuatnya atau diterimanya suatu riwayat yang disampaikan oleh seorang rawi.
Beberapa teori yang menyebutkan kaidah jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
·           Mendahulukan ta’dil daripada jarh dengan penjelasan bahwa pada dasarnya para perawi bersifat terpuji
·           Mendahulukan jarh daripada ta’adil dengan argumntasi bahwa yang mencela jauh lebih memahami orang yang dikritiknya   
·           Lebih memenangkan kritikan yang memuji daripada yang mencela, kecuali disertakan sebab-sebab ketercelaanya secara obyektif
·           Tidak menerima kritikan yang mencela dari yang lebih lemah (dla’if) atas pribadi yang lebih tsiqat
·           Jarh tidak dapat diterima kecuali jelas dan tepat sasarannya untuk orang yang memiliki kesamaan atau kemiripan nama.
·           Jarh sebaiknya diabaikan jika berasal dari orang-orang yang memiliki permusuhan dalam hal keduniawiyan karena dikhawatirkan tidak obyektif.
Selain para perawi, para kritikus periwayat hadits juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Yaitu yang berkenaan dengan sikap pribadi dan yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan. Untuk yang disebutkan pertama adalah termasuk didalamnya (Syuhudi Ismail, 1995: 194):
-          Bersifat ‘adil sesuai pengertian ilmu hadits dan tetap terpelihara sampai ketika ia melakukan penilaian terhadap periwayat hadits
-          Tidak bersikat fanatik terhadap aliran yang dianutnya
-          Tidak bersikap bermusuhan terhadapa periwayat yang berbeda aliran dengannya
Selain itu para kritikus periwayat hadits dalam melakukan kritiknya juga harus patuh terhadap norma-norma berikut, yaitu obyektif, lugas, sopan, semata-mata didorong oleh kepentingan agama (Syuhudi Ismail, 1995: 195).
Adapun unsur-unsur yang harus terpenuhi agar sanad berkualitas shahih adalah sebagai berikut:
a.       Harus ada ketersambungan (muttashil) sanad para rawi terdekat mulai dari awal hingga akhir sanad dan marfu’ (bersambung kepada Nabi SAW)
b.      Semua periwayat yang terlibat dalam suatu sanad harus bersifat ‘adil, dan dlabith
c.       Sanad hadits tersebut terhindar dari unsur syadzdz dan ‘illat  
 Dalam Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (1995: 145) disebutkan bahwa penyebab utama sanad menjadi syadzdz adalah karena perbedaan tingkat ke-dlabith-an periwayat. Sedangkan ke-‘illat-an sanad lebih sering karena terputusnya sanad. Jadi, penyebab utama dari kedua masalah tersebut adalah karena ketidaksempurnaan ke-dlabith-an perawinya dan/ atau kerena tidak bersambungnya suatu sanad.  
2.      Kritik Matan Hadits
Menurut Shalah al Din al Adlabi (dalam Muh. Rofiq Nasihudin: http://www.yousaytoo.com/kajian-kritik-sanad-dan-matan-hadits/464168) ada empat tolak ukur penelitian keshohihan matan hadits:
- Tidak bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an.
- Tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih baik.
- Tidak bertentangan dengan akal sehat.
- Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian
           Langkah-langkah untuk meneliti kesahihan suatu matan hadits adalah sebagai berikut (Syuhudi Ismali, 1992: 122-145):
a.       Mengkaji kualitas sanadnya
Setiap matan hadits harus bersanad dengan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam pembahasan sanad sebelumnya. Meski demikian tidak selalu sanad yang telah diketahui shahih memiliki matan yang shahih pula, begitu juga sebaliknya. Hadits yang sanadnya shahih tetapi dla’if pada matannya dapat terjadi karena faktor-faktor berikut:
-       Terjadi kesalahan penggunaan pendekatan ketika melakukan penelitian matan tersebut
-       Adanya kesalahan dalam penelitian sanad
-       Matan hadits tersebut telah mengalami periwayatan secara makna dan dalam periwayatan secara makna tersebut telah terjadi kesalahpahaman
Matan yang shahih memiliki unsur-unsur kaidah keshahihan matan dibawah ini, yaitu:
·      Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
·      Tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih shahih
·      Tidak bertentangan dengan akal sehat
·      Susunan redaksinya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian
b.      Menelaah susunan dan lafal matan yang semakna
Penelitian ini dibutuhkan karena adanya kemungkinan perbedaan lafal yang disebabkan oleh periwayatan secara makna dan juga kemungkinan adanya periwayat yang mengalami kesalahan karena sifat manusianya. Periwayat yang mengalami kesalahan tersebut ada yang tsiqat ada pula yang tidak tsiqat. Bagi yang tsiqat kesalahan-kesalahan tersebut masih dapat ditolerir sepanjang tidak terlalu sering terjadi. Untuk dapat mengetahui hal-hal tersebut dibutuhkan penelitian yang sangat cermat dan mendalam. 
c.       Meneliti kandungan matan
1.      Membandingkan kandungan matan yang sejalan
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghadapkan suatu matan dengan matan lain yang memiliki topik yang sama. Setelah itu dapat diteliti sanadnya, kemudian dilakukan muqaranah (perbandingan) lafal matan. Jika langkah-langkah tersebut telah selesai dilakukan dan menghasilkan kesimpulan bahwa matan tersebut shahih, maka dapat dikatakan bahwa penelitian pada tahap ini telah selesai.
2.      Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan
Cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan:
·       Dikompromikan (al-jam’u)
·       Pendekatan nasikh-mansukh
·       Metode tarjih (mengambil yang lebih kuat)
·       Tauqif   
Sedangkan Yunahar Ilyas (dalam Rasyid Rizani, 2009) menyebutkan    bahwa:
Oleh karena penelitian matan hadits tidaklah mudah, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan meneliti matan hadits tersebut, yaitu :
1.       Memiliki keahlian dibidang hadits
2.        Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam
3.       Telah melakukan kegiatan muthala’ah yang cukup
4.        Memiliki akal yang cerdas sehingga mampu memahami pengetahuan secara benar
5.       Memiliki tradisi keilmuan yang tinggi.
Adapun masalah yang sering di hadapi dalam kegiatan kritik matan adalah masalah metodologis dalam penerapan tolak ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti. Hal itu disebabkan oleh butir-butir tolak ukur yang memiliki banyak segi yang dilihat. Sering pula peneliti menghadapi matan-matan hadits yang ditelitinya tampak bertentangan. Dalam hal ini perlu kecermatan dan keahlian dalam menggunakan metode-metode kritik matan hadits.
            Contoh Hadits yang Tampak bertentangan
Dalam hadits riwayat Muslim, ad Darimi dan Ahmad dinyatakan :
عن أبى سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ولا تكتبوا عنى ومن كتب عتى غير القران فليمحه. ( رواه مسلم والدارمى وأحمد )
Artinya :
(hadits Riwayat) dari Abū Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya.
Hadits di atas tampak bertentangan dengan hadits riwayat al-Bukhari, Muslim dan Abū Daud yang berbunyi :
عن أبى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم ..... قال : اكتبوا لابى شاه. )رواه البخارى و مسلم و أبو داود )
(hadits riwayat) dari Abū Hurairah, dari Nabi SAW…..beliau bersabda (kepada para sahabat): tuliskanlah (khutbah saya tadi) untuk Abū Syah (yang telah minta untuk dituliskan tersebut).
Meneliti Kandungan Matan
1.       Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan
2.        Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan
3.      Kritik Sanad dan Matan Hadits
Secara umum, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam sanad dan matan hadits agar dapat dikatakan sahih adalah sebagai berikut:
a.       Adanya ketersambungan (muttashil) antara perawi terdekat yang awal sampai yang terakhir secara marfu’ (sampai kepada Nabi SAW). Jadi, dalam suatu sanad jika si A adalah periwayat yang terletak di awal sanad maka maka A harus bersambung dengan B, B dengan C, C dengan D, D dengan E, dan seterusnya –misalnya sampai pada H sebagai akhir sanad- dan H bersambung kepada Nabi SAW
b.      Para perawi dalam suatu sanad harus ‘adil dan dlabith
c.       Baik sanad dan matannya secara bersama-sama tidak ada syadzdz dan tidak ‘illat
Dalam kritik sanad dan matan hadits, para ulama pengkritik hadits secara umum terbagi menjadi tiga kelompok. Yakni kelompok yang sangat ketat (tasyaddud), kelompok yang moderat/wajar (tawasuth), dan kelompok yang longgar (tasahul). Pengelompokan tersebut terkait dengan sikap dalam menilai keshahihan ataupun ke-dla’if-an hadits (Syuhudi Ismail, 1992: 74-75):
-          Kelompok tasyaddud, diantaranya yaitu an-Nasa’i (w. 303 H/ 915 M), ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di al-Madini atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul Madini (w. 234 H/ 849 M)
-          Kelompok tawasuth, yaitu az-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M) dan al-Bukhari (w. 256 H/ 870 M)
-          Kelompok tasahul, adalah at-Turmudzi (w. 279 H/ 892 M), adapun al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/ 1014 M) dan Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H/ 1505 M) keduanya dikenal sebagai mutasahil dalam menilai keshahihan hadits, sedangkan yang dikenal mutasahil dalam menyatakan kepalsuan hadits adalah Ibnul Jauzi (w. 597H/ 1201 M).
Ada beberapa kitab yang dapat dijadikan rujukan dalam meniliti hadits, baik dari segi sanad maupun matannya. Untuk penelitian hadits secara umum yang dapat dijadikan sumber adalah Kitab Enam (Kutubus Sittah), yaitu Shahih Bukhariy, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’i, Sunan Abu Daud, Sunan at-Turmudzi, dan Sunan Ibn Majah. Dalam Metodologi Penelitian Hadits Nabi (1992: 90-97) untuk meneliti segi sanad kitab-bitab yang dianjurkan adalah:
·         Kitab-kitab yang membahas tentang biografi singkat para sahabat Nabi
·         Kitab-kitab yang membahas biografi singkat tentang para periwayat hadits yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat
·         Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat secara umum
·         Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadits
·         Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadits
Sedangkan kitab-kitab yang diperlukan untuk pene;litian lafal dan kandungan matan hadits adalah:
-          Kitab-kitab syarah hadits dan tafsir al-Qur’an
-          Kitab-kitab yang membahas gharibul hadits, asbabul wurud, mukhtaliful hadits, fiqhul hadits, dan musthalah hadits
-          Kitab-kitab ushul fiqh dan fiqh
-          Kitab-kitab sejarah Nabi pada khususnya dan sejarah Islam pada umumnya
-          Kitab-kitab Ilmu Kalam
E.       Kesimpulan
1.      Kritik sanad dan matan hadits adalah upaya yang dilakukan para muhaditsin untuk meneliti keshahihan hadits dari segi keshahihan sanad dan jalur periwayatan hadits serta dari segi kebenaran matan/ isi hadits.
2.      Dalam kritik sanad yang menjadi titik konsentrasi penelitian adalah masalah periwayat hadits tentang ke-‘adil-an sekaligus ke-dlabithi-an mereka. Sedangkan dalam kritik matan adalah matan hadits itu sendiri.
3.      Kritik hadits tidak secara otomatis menggugurkan hadits yang diriwayatkan, karena harus dilihat keefektifan kritik tersebut dan siapa yang menlakukan kritik.
4.      Kritik hadits terbuka bagi semua orang dengan syarat telah memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, baik dari segi pengkritik maupun cara melakukan kritik.
5.      Suatu hadits dapat dikatakan shahih jika, baik sanad maupun matannya memenuhi syarat-syarat shahih secara bersama-sama.
F.       Daftar Pustaka
Ali Mustafa Yaqub, 2000, Kritik Hadis; Jakarta: Pustaka Firdaus
H.M. Syuhudi Ismail, 1995, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah; Jakarta: PT. Bulan Bintang

--------------- 1992, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT. Bulan Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar